Jakarta (Indonesiamandiri) – Parlemen Eropa Bersatu (EU: European Union) belakangan mulai mengancam impor minyak kelapa sawit asal Indonesia. Intinya, EU memberikan sanksi keras kepada negara pengimpor sawit ke wilayahnya apabila di negara asal sawit terjadi kerusakan lingkungan, khususnya hutan. Karena sanksio yang berbuntut larangan ini memang sudah menjurus ke intervensi EU ke ranah dalam negeri Indonesia.
Baru-baru ini Menteri Pertanian Amran Sulaeman secara tegas menyebutkan bahwa apa yang ditempuh oleh EU terkait sawit asal Indonesia sudah masuk kategori intervensi dan kampanye hitam negara-negara Eropa terkait standar sawit yang ada di pasar internasional.
“Indonesia secara tegas menolak dengan penetapan standar sendiri oleh Uni Eropa terkait sawit, dan perlu diketahui jika isunya lingkungan, adanya moratorium yang telah diputuskan oleh Presiden sebagai sebuah tindakan nyata dan hal yang luar biasa dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah defortasi” tegas Amran disela acara pengangkatan Pengangkatan Penyuluh Pertanian (PPL) Ungaran, Semarang (10/4).
Lebih lanjut Amran menyoroti akan ada banyak dampak ditimbulkan terkait resolusi sawit tersebut, seperti deforestasi, korupsi, pekerja anak hingga pelanggaran HAM. Selain itu kebijakan EU juga dapat berpengaruh terhadap 30 juta tenaga kerja petani sawit.
Jika mau dilihat kebelakang, terkait terkait dampak lingkungan akibat defortasi yang dituangkan dalam laporan dengan judul The Impact of EU Consumption on the Forestation: Comprehensive Analysis of the Impact of EU Consumption on The Forestation (Kontrak No. 070307/2010/577031 / ETU / E2), pada 2013 ada penelitian oleh lembaga keilmuan internasional, VITO, IIASA dan Cicero. Hasil riset itu, disimpulkan bahwa dari proses defortasi yang terjadi seluas 239 juta ha selama kurun waktu 20 tahun, maka kontribusi budidaya sawit dalam defortasi hanya seluas enam juta hektar atau 2,5 persen dan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan sektor peternakan yang mencapai 58 juta hektar dan kedelai yang mencapai 13 juta hektar.
Ini artinya, peranan sawit sebagai faktor utama terjadinya perusakan lingkungan seperti yang dituduhkan Katerina Konecna sang perancang resolusi larangan impor produk sawit ke Eropa sangat tidak berdasar. Negara tetangga kita, Malaysia, pun berada di pihak Indonesia terkait larangan sawit dari EU. Menteri Pertanian Malaysia Datuk Seri Mah Siew Keong dalam keterangan persnya pada New Straits Times (5/4), menyebutkan sangat kecewa dengan keputusan Resolusi Minyak Sawit yang disahkan di Strasborough, Prancis (4/4).
“Kami kecewa dengan keputusan Uni Eropah terkait sawit. Malaysia dan Indonesia harus melawan diskriminasi ini, karena akan juga berdampak terhadap 600.000 petani sawit di Malaysia,” kata Mentan Negeri Jiran itu. Karena sikap EU yang tidak bersahabat itu, disarankan agar Malaysia dan Indonesia akan bersama-sama memanfaatkan forum Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) untuk mengatasi hambatan terkait resolusi.
Resolusi minyak sawit yang dikeluarkan Uni Eropa antara lain berisi larangan secara bertahap impor minyak sawit ke Eropa untuk biofuel hingga tahun 2020. Minyak sawit saaat ini merupakan salah satu solusi untuk mengurangi emisi gas tumah kaca dan berkontribusi besar secara keseluruhan sebagai bahan bakar pengganti fosil. Dari sisi produksi paling produktif dalam hal penggunaan lahan dan hasil yaitu 4,27 ton / ha / tahun, sedangkan rapeseed hanya menghasilkan 0,60 ton / ha / tahun, bunga matahari di 0,52 ton / ha / tahun, dan kedelai di 0,45 / ton / ha / tahun (hy/ma).
Foto: abri