Nanga Badau/Kalbar (IndonesiaMandiri) – Suasana di perbatasan darat Kecamatan Nangabadau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, sudah banyak perubahan dibanding tahun sebelumnya. Karena saat ini sudah ada Pos Lintas Batas (PLB) dengan bangunan yang lumayan besar setelah Entikong untuk Provinsi Kalimantan Barat.
Tetapi, masyarakat di desa Badau, tetap masih banyak memanfaatkan barang-barang dari negara tetangga Malaysia. Maklum saja, karena jarak tempuh yang lumayan pendek, hanya 30 menit jalan darat sudah tiba di kota Lubuk Hantu, Serawak, yang menjual aneka kebutuhan rumah tangga.
Di Kecamatan Nangabadau sendiri, bukannya tidak ada pasar. Tetapi tetap saja barang yang membanjiri adalah produk Malaysia. Mau ke ibukota provinsi Kalbar, Pontianak, mesti menguras waktu hampir dua hari perjalanan darat dengan kondisi jalan yang masih banyak rusak. Terdekat, pusat keramaian di ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, yaitu kota Putussibau, dengan jarak tempuh perjalanan darat tiga setengah hingga empat jam.
Layaknya di perbatasan darat lainnya, posTNI juga tersedia di Nangabadau. Hanya saja, PLB di Kalimantan ini banyak yang belum terpadu, di mana semua unsur yang terkait dengan urusan perbatasan dengan negara asing seperti Bea Cukai, Karantina, TNI, Polri, tidak menyatu. Di Nangabadu misalnya, pos terdepan dari titik nol kilometer diisi bagian keimigrasian (Bea Cukai), kemudian jarak tiga ratus meter baru bertemu pos TNI dan karantina. Kabarnya memang, di 2016 ini PLB yang besar akan dijadikan terpadu dalam satu atap.
Dan yang lebih penting kalau berbicara soal perbatasan negara, harus tak bisa dilepaskan dari soal kesejahteraan masyarakatnya. “Kita ini serba sulit ya. Mau sekolah yang baik, paling dekat di negara sebelah. Belanja keseharian dan kesehatan juga demikian,” tutur Ahmad, yang tinggal di Badau. Belum lagi soal air bersih dan listrik, sulit sekali untuk masyarakat memperolehnya. Saat menjelang Magrib, listrik seringkali mati.
Di Badau, ada perusahaan sawit yang lumayan besar dan maju. Perusahaan ini juga sering memberikan bantuan sekedarnya seperti penyediaan air bersih, pendidikan sekolah lengkap dengan antar jemputnya. Tapi, ini sangat terbatas yang dapat memanfaatkannya.
Lalu pertanyaan sederhana muncul: di mana negara? Aparat keamanan seperti TNI dan Polri sudah pasti ada disekitar perbatasan. Tapi, tugas mereka juga sudah pasti bukan menyentuh hal-hal mendasar seperti menjalankan roda perekonomian masyarakat.
Baru-baru ini, TNI bersama Kementerian Pertahanan mulai lagi dengan berbagai kegiatan sosialnya, seperti pengobatan cuma-cuma untuk penyakit umum, gigi, serta alat keluarga berencana. Tak lupa para tentara ini juga memberikan penyuluhan hukum, batas-batas negara, serta ikut membantu membangun berbagai fasilitas umum seperti jalan, rumah ibadah, dan lain-lain.
Sekali lagi, upaya dari TNI dan Kementerian Pertahanan ini juga sangat terbatas. Bukan berarti kerja sosial mereka tidak ada artinya. Justru sangat besar manfaatnya. Hanya saja, perlu penanganan dengan manajemen yang lebih profesional untuk menghidupkan perekonomian di tengah masyarakat. Misalnya, bagaimana ada semacam terminal pasar pengumpul (dry port) yang menyediakan berbagai kebutuhan pokok.
Sarana transportasi pun mesti mudah dijangkau. Bis yang tersedia, jangan hanya lewat satu-dua kali saja dalam sehari yang menghubungkan daerah perbatasan seperti Badau dengan kota besar sekitarnya. Daerah yang dialiri sungai pun demikian, mesti ada sarana kapal sesuai ukuran aliran sungai yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dalam beraktifitas. Belum lagi sarana komunikasi seperti handphone, seringkali terkena roaming ke negara sebelah. Serta, masih banyak daerah yang masih tak terjangkau sinyalnya dengan jaringan penyedia jasa telekomunikasi, seperti Telkomsel, Indosat, XL, dan lain-lain.
Presiden Jokowi dalam beberapa kunjungannya ke perbatasan, sudah mengingatkan untuk melakukan pembangunan secepatnya. Salah satu program Nawacita Pemerintah adalah turut membangun Indonesia dari pinggir. Yang dimaksud “pinggir” ini diantaranya adalah perbatasan, seperti halnya di Nangabadau.
Kini, setahun sudah Pemerintahan Jokowi berjalan. Realisasi nawacita tentunya sangat dinanti, agar masyarakat di perbatasan tak lagi nasibnya dipinggirkan (taruna).
foto: abri